Chapter 1: Umi, Masuk Sekolah Dasar.
Tak banyak ku ingat masa-masa Sekolah Dasar ku dulu, hanya sepintas awal aku masuk Sekolah Dasar yang bertemu dengan teman kecilku yang tak dapat tempat duduk dan akhirnya dia memutuskan untuk tidak bersekolah, keputusan yang sangat bodoh dan sangat sepele. Tapi, ada hal lain yang tidak dipahami oleh orang dewasa, bahwa dia menangis dan tidak jadi bersekolah karena tempat duduknya terusir oleh irma, anak yang baru saja masuk ke kelas barusan.
Orang dewasa mana faham, bahwa dia merasa terasingkan dan merasa terancam, akhirnya memutuskan untuk tidak bersekolah. Yah, yang ibunya tahu bahwa dia adalah anak yang cemen anaknya lemah dan anak yang tidak pemberani. Sepanjang perjalanan pulang ibunya hanya membentak dan memarahinya sampai-sampai semua orang dipasar memandangi beramai-ramai.
Umi kecil menjadi anak yang cukup mudah bergaul, dia bisa mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya meskipun kemampuanya pas-pasan. Dia tidak pintar dan juga tidak bodoh, dia suka bermain bersama anak-anak seusianya, dari suka masak-masakan, sepedaan, slembaran menggunakan batu dan permainan yang lainnya. Dia memiuliki suara yang cukup lantang, maka pada setiap pelajaran mengaja dan membaca dia selalu berteriak-teriak menandakan bahwa dia bisa membaca.
Menginjak kelas 2 juga tidak banyak yang aku ingat, hanya uang jajan ku yang selalu naik 100 rupiah setiap aku berhasil naik kelas. Tidak kurang dan tidak lebih. Di kelas 3 aku masuk kedalam kategori Ke-6 anak terkecil di dunia. Di dunia kelas 3 A maksudku. Berbeda dengan Ela, dia yg cantik, tinggi semampai direkrut pelatih menjadi mayoret bersama kakaknya.
Jamanku dulu, mayoret adalah kasta tertinggi dalam seni per-Marcing Band-an yang hanya bisa didapatkan dari seseorang yang pandai, cantik dan tinggi semampai. Sedangkan aku? tak pernah sekalipun aku memimpikan untuk menjadi mayoret, selain tidak berminat, alasan yang lain karena tidak punya uang untuk sewa kostumnya. paling penting lagi bahwa aku gak bisa joget !.
Tahukah kawan, impianku di Marcing band adalah menjadi balera, yap sang pemukul balera yang berformasi ditengah sebuah marcing band, diapit oleh empat senar (alat musik marcing band yg seperti drum pada sebuah Band) dan satu trio. Ah sungguh menyenangkan menyandang sebagai balerina. Tapi mereka yang menjadi balerina kebanyakan adalah siswa siswi kelas 5 dan 6 yang tubuhnya cukup kuat menyandang beban seberat 7 kg berjam-jam, alat itu mengisaratkan bukan untuk anak-anak yang kekurangan gizì atau menderita gizi buruk macam aku dan Eni. Ah untuk tahun pertama ini masuk marcing band tak apalah jadi penggembira dulu pikirku.
Namun tragis ya tetap tragis sampai aku kelas 6 tetap saja tak pernah terpilih oleh pelatih. Aku dan Eni terima nasib, tapi sedikit menggembirakan, karena aku ditempatkan di barisan paling depan dari formasi penari latar, paling tidak menyembuhkan sedikit lukaku akan kekecewaan menjadi seorang balera.
__Bersambung__
0 Response to "Cerita Bebas: Sebuah Kisah Panjang, Bagian Pertama"
Post a Comment