Apa yang
orang ingat tentang 20 Mei? Ingatan kontemporer kita terbayang 20 Mei adalah ajakan
Amin Rais untuk mengepung Monas pada tahun 1998, dan mendongkel Pak Harto, saat
itu pendongkelan Pak Harto adalah bagian koreksi sejarah perjalanan bangsa,
kejatuhan Suharto dianggap sebagai ‘Kebangkitan Nasional Modern’.
Lalu apa
yang kita kenang dari 20 Mei 1998, selain foto-foto kusam anak-anak STOVIA yang
ingin memiliki sebuah paguyuban, sebuah nation dalam tahap awalnya? Apakah 20
Mei 1908 hanyalah refleksi dari pemikiran Wahidin Sudirohusodo, atau
debat-debat di kelas STOVIA?
Lalu
apakah 20 Mei 1908, bisa dikatakan sebagai sebuah ‘Kebangkitan Nasional’,
sebagai gerakan besar sejarah pembentukan sebuah bangsa? Tapi kenapa saat
itu hanya Jawa dan Madura saja? Lalu apakah natie, nation, bangsa
itu bermula?
Pada Mulanya Adalah Tjondronegoro
Kekalahan
Perang Diponegoro tahun 1830, yang diiring penangkapan-penangkapan bangsawan,
pembunuhan para Pangeran dan pembuangan ke luar Pulau Jawa, membuat kerabat
para Bangsawan terpecah-pecah, mereka melarikan diri ke berbagai tempat, yang bertahan
harus tunduk total dan mencium kaki Belanda.
Pada
tahun 1830-1840, memang ada gerakan diam-diam untuk menentang Belanda lagi,
tapi gerakan itu sendiri dibasmi oleh para pribumi yang memihak pada Belanda.
Setelah keruntuhan wibawa Raja Yogyakarta dan Raja Solo, maka para Pangeran
membentuk klan-klannya tersendiri, yang paling diuntungkan adalah klan Pangeran
pesisir yang memang tidak menjadi satelit Mataram.
Sementara
di Bagelen, wilayah Banyumas frustrasi meluas. Di Solo sendiri para Pangeran
yang terindikasi gerakan Diponegoro ditawari pilihan : -Melucuti jabatan dan
mengganti nama mereka menjadi nama rakyat jelata : “Dikromo” atau ditembak
mati.Di alam pikiran saat itu ini adalah penghinaan. Salah seorang yang dihajar
oleh Pasukan Belanda dan diburu adalah Raden Mangundiwiryo yang kemudian
melarikan diri ke Tulungagung dan menyamar menjadi saudagar Batik, Raden
Mangundiwiryo adalah salah seorang bangsawan Solo yang tak lain adalah kakek
buyut Bung Karno. Di tempat lain salah seorang Panglima Diponegoro divisi
Prambanan, Tumenggung Wiroreno juga melarikan diri ke Banyumas, klan Wiroreno
inilah kelak menurunkan Sumitro Djojohadikusumo salah seorang ekonom besar
negeri ini. Diaspora-nya para bangsawan Jawa ke berbagai wilayah ini lalu
membangun jaringan-jaringan yang sifatnya lebih kultural. Pada tahun 1850-an,
di Batavia sendiri sudah mulai ada pemikiran untuk mengajak bangsawan Jawa ikut
dalam pemikiran-pemikiran barat yang rasional dan empiris namun keinginan ini
ditolak, “biarlah para bangsawan Jawa itu tenggelam dalam masa lalunya” begitu
alasan banyak penggede Hindia Belanda mengenai bangsawan Jawa.
Gerakan-gerakan
gerilyawan sisa laskar Diponegoro, terus melakukan perlawanan tapi kemudian
meredup pada tahun 1842. Seluruh Jawa total dikuasai Batavia. Para bangsawan
Jawa diundang ke Batavia dan dijadikan pegawai-pegawai Pribumi, salah satu yang
kerap menghadiri undangan ke Batavia adalah Pangeran Aryo Tjondronegoro IV,
salah seorang Pangeran muda berdarah Surabaya-Madura yang dipercaya memegang
wilayah Pesisir Jawa Tengah. Pada umur 25 tahun Pangeran Aryo Tjondronegoro IV
menjabat sebagai Bupati Demak. Kunjungannya ke Batavia dan perkenalannya
dengan beberapa intelektual Belanda membuat sang Pangeran berpikir ulang
tentang konsep peradaban. Selama ini peradaban Jawa mengandalkan pada mitologi,
pada sakralitas, sementara Belanda telah mengalahkan sakralitas itu, bukan
dengan senjata tapi dengan dua hal : Tata Buku dan Tata Bahasa.
Lalu
Tjondronegoro membuka kembali lembaran-lembaran perjanjian Giyanti 1755, ia
melihat celah-celah hukum dalam perjanjian Giyanti inilah yang membuat para
Bangsawan Jawa berperang. Pada kunjungan ke Semarang, Pangeran Aryo
Tjondronegoro melihat langsung mikroskop, lensa buatan Belanda, karya Anthony
Van Leuwenhoek, ia juga melihat teropong model Galileo Galilei, ia berpikir :
“Bila Bangsa Jawa memaknai dunia mikroskopis dan makroskopis dengan sastra
dengan perbendaharaan latihan kejiwaan, maka bangsa Belanda melakukan ini
dengan studi-studi empiris. Tjondronegoro kemudian belajar dua bahasa Belanda
dan Perancis, ia juga sedikit belajar bahasa latin.
Kemampuannya
berbahasa Perancis ternyata membuat tercengang banyak orang Belanda, saat itu
bahasa Perancis amat diminati oleh para intelektual Belanda, sejak gerakan
pengetahuan Cartesian, bahasa Perancis menjadi bahasa yang
paling unggul, bahasa para Menak Eropa dan bahasa ilmu pengetahuan, dari bahasa
Perancis inilah Tjondronegoro membaca buku-buku ketatanegaraan, buku Filsafat
dan sastra Voltaire yang paling ia sukai, -Pembaratan dialami Tjondronegoro
dalam tempo yang amat cepat-.
Tjondronegoro
mempunyai dua anak lelaki yang juga diarahkan menjadi bangsawan berpendidikan
Eropa : Pangeran Ario Hadiningrat dan Pangeran Ario Sosroningrat. Pangeran Ario
Hadiningrat menjadi Bupati Demak menggantikan Tjondronegoro dan Pangeran Ario
Sosroningrat menjadi Bupati Jepara. Pangeran Ario Sosroningrat kemudian
bergelar Kanjang Raden Mas Tumenggung, penurunan dari Pangeran ke Tumenggung
adalah kebijakan Belanda untuk menghormati Vorstenlanden bahwa diluar Demak,
gelar kebangsawanan paling tinggi hanya Raden Mas.
Pangeran
Aryo Tjondronegoro mengajarkan pada anaknya bahwa ‘Bahasa Belanda’ adalah
kuncimu menguasai tata negara, “Pelajari Bahasa Belanda-mu dengan baik’. Di
kalangan para bangsawan Jawa, tindakan Tjondronegoro yang kebelanda-belandaan
membuat banyak yang tak suka, apalagi bagi pengikut puritan Pangeran
Diponegoro, padahal apa yang dilakukan Pangeran Aryo Tjondronegoro adalah titik
nol kilometer dalam membangun sebuah bangsa yang baru.
Pangeran
Aryo Tjondronegoro IV sendiri melihat begitu banyak penderitaan di kalangan
rakyat Djawa apalagi setelah kebijakan tanam paksa, yang kerap ia saksikan
adalah kematian massal penduduk Jawa akibat penyakit cacar.
Selain
itu penyakit lain juga banyak, lalu Pangeran Tjondronegoro menulis surat pada
pemerintah Belanda pada tahun 1847 untuk memberi jalan agar diberikan
pendidikan kedokteran bagi bangsa Jawa,
“Agar mereka bisa merawat
kesehatannya sendiri, agar mereka bisa berpikir, setidak-tidaknya berpikir
untuk tubuh mereka sendiri”.
Begitulah
penggalan penting surat Tjondronegoro yang bikin Pemerintah Hindia Belanda
mendadak berpikir tentang jaminan kesehatan bagi penduduk pribumi, mereka-pun
akhirnya memutuskan mendirikan sekolah kedokteran Djawa, yang pertama ditugasi
dalam membentuk sekolah pendidikan itu adalah Dokter Bosch, salah seorang
dokter militer (Militair Geneskundige Dienst) dan diperintahkan
mendirikan sekolah kedokteran Djawa berdasarkan beslit yang keluar pada tahun
1851.
Akhirnya
sekolah kedokteran berdiri, sekolah kedokteran Djawa, sekolah itu berada persis
disamping sekolah bidan bikinan Daendels tahun 1810, sekolah bidan (Vroedvrowschool)
yang kemudian bangkrut dan tak berkembang. Sekolah Dokter Djawa berkembang amat
pesat, inilah yang membuat Tjondronegoro senang bukan kepalang, lalu ia mencoba
mendirikan diri lagi menulis surat kepada Pemerintahan Hindia Belanda untuk
membangun Sekolah Guru (Kweekschool).
Pangeran
itu akhirnya dipanggil ke Batavia dan dimintai pendapat ‘Kenapa Belanda harus
membangun sekolah guru?’. Pangeran dengan nada pelan menjawab ‘Hanya dengan
itulah kami tahu bagaimana cara menghormati Tuan-Tuan’. Kata Tjondronegoro.
Lalu Penggede Belanda bertanya “Dimana baiknya sekolah guru dibangun?”
Tjondronegoro menjawab
“Surakarta”.
“Alasannya”
“Sejak lama Surakarta sudah
berkembang menjadi kota sastra yang amat maju, disana tersimpan ribuan naskah
kuno kebudayaan kami orang Jawa, pada hakikatnya pertama-tama yang dilakukan
seorang guru adalah membuka cakrawala bahasa, maka Surakarta adalah tempat yang
tepat untuk memulai sekolah guru di Tanah Jawa”
Kemudian Surakarta dipilih
jadi Sekolah Guru Pertama dan Paling Modern pada tahun 1852.
Apa yang
dilakukan Pangeran Aryo Tjondronegoro kemudian dikembangkan oleh anak dan
cucunya. Raden Mas Sosroningrat anak Tjondronegoro mengambangkan pengaruh untuk
mempelajari bahasa Belanda dikalangan para Bupati, bahkan setelah ia menjabat
sebagai Bupati Jepara, ia membangun gerakan bahasa Belanda dikalangan Bupati,
gerakan ini disambut di Banten, Cirebon dan Madiun. Di Cirebon bahkan gerakan
Bupati Sosroningrat mendapatkan tempat yang terhormat, apa yang dilakukan
keluarga Tjondronegoro pada akhir abad 19 adalah ‘pembaratan tahap awal’ para
Bangsawan Jawa dan membangun kesadaran tentang sebuah peradaban yang bisa
menguasai dunia ‘Peradaban Barat’.
Pembaratan
secara individu dimulai dari kesadaran-kesadaran awal tentang ‘bagaimana
memandang dunia’. Inilah yang kemudian menjadi titik mula dari kesadaran
bersama membentuk sebuah masyarakat.
Kartini dan Pesan Nasionalisme
Cucu
perempuan Pangeran Ario Tjondronegoro IV, adalah Raden Ajeng Kartini anak
kandung dari Raden Mas Sosroningrat, Kartini sejak usia 4 tahun diperkenalkan
bahasa Belanda, Kartini kecil menari-nari sambil mulut mungilnya melagukan
angka-angka dalam bahasa Belanda “een twee drie…” kakinya meloncat kesana
kemari. Kakak Kartini Raden Mas Panji Sosrokartono adalah orang yang pintar
juga, bahkan teramat pintar. Sosrokartono senang berlangganan majalah yang
diedarkan khusus bagi kaum Penggede Hindia Belanda di Semarang, lewat kurirnya
Pak Samingat majalah-majalah itu dikirimkan ke Belanda, ada beberapa majalah
yang biasa dibundel saat itu dan diedarkan, edaran ini dikenal dengan
nama ‘Leestrommel’ ada juga koran terkenal yang kantor
redaksinya ada di Semarang namanya ‘De Locomotief’ , Kartini
suka membaca majalah “Hollandcsche Lelie” Kartini kecil suka
ikutan nimbrung kakaknya untuk membaca majalah dan surat kabar itu.
Di usia
12 tahun Kartini mulai baca buku yang berat-berat, dan di usia 16 tahun Kartini
sudah matang wawasannya dalam ilmu pengetahuan, filsafat barat dan segala
bentuk ilmu pengetahuan umum. Ia kemudian melakukan korespondensi dengan
beberapa temannya yang ia kenal dari majalah. Suatu saat Kartini
sedang melihat-lihat kebun bunga-nya di depan pendopo Kabupaten, ia tanpa
sengaja melihat anak kecil umur 6 tahun kelaparan, ia memberi makan tapi anak
itu menolak, anak itu kemudian berlari meninggalkan Kartini. Pelan-pelan air
mata Kartini jatuh, lalu kesan ini ia tulis pada sahabatnya di Belanda sana :
“Kami beri dia makan, tetapi
tidak dimakannya, dibawa pulang…Saya merasa malu sedalam-dalamnya atas egoisme
saya. Saya memikirkan dan merenungkan keadaan saya sendiri. Saat itu di sekitar
saya penuh jeritan dan rintihan orang menderita…menggemalah di sekitar saya:
Kerja! Kerja! Kerjalah! Bebaskan dirimu, bila kau berhasil membebaskan dirimu
dapatlah kau menolong orang.
(Surat RA Kartini, Pada
Abendanon 1902)
Pembebasan
adalah kata-kata pertama Kartini, dari seluruh catatannya tentang Kemanusiaan,
Pembebasan adalah batu pertama Kartini melihat struktur manusia bahwa
penderitaan yang dialaminya adalah bukan karena kelalaian sendiri, tapi
penindasan atas dirinya yang tidak ia tahu, dari sinilah kemudian Kartini
mengembangkan pemikirannya tentang ‘Nasionalisme’ tentang Tanah Air yang satu
dan bertujuan membebaskan. Selain pembebasan Kartini mengembangkan konsep
pembebasan atas dasar : Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu
Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri
kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Pemikiran
Pembebasan Kartini adalah refleksi dari seluruh jaman yang mulai bergerak dan
berderak. Sebuah jaman yang tidak lagi membeku.
Wahidin Soedirohusodo dan
Sepedanya
Wahidin
adalah seorang pribumi yang bersekolah di Stovia, suatu saat tak lama setelah
ia lulus sekolah kedokteran sekitar tahun 1872, ia melihat dengan mata kepala
sendiri penderitaan seorang miskin di Tanah Abang Bukit, Batavia. Ia melihat
anak-anak miskin itu tidak terawat, kesehatan tak jelas, kesadaran pertamanya
bangkit, ‘harus banyak anak-anak yang sekolah’. Lalu ia mengembangkan konsep
‘Studie Fonds’ atau ‘Dana Pelajar’. Wahidin-pun datang membawa konsepnya ini ke
beberapa bupati di Jawa. Ia keliling djawa dengan sepeda, pengembangan konsep
studie fonds mendapatkan sambutan baru pada tahun 1906.
Ia
bertemu dengan Pangeran Aryo Tjondronegoro, Bupati Demak, dalam pembicaraan
yang lama dan bersahabat, Wahidin diberikan beberapa petunjuk mengenai
kesadaran pengajaran, lalu Wahidin ini menyebarkannya ke Bupati-bupati lain.
Penyebaran kesadaran soal pendidikan ke bupati-bupati inilah adalah bibit awal
penyatuan kaum intelektual.
Saat itu
Stovia sudah menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, inilah yang
kemudian membuat Pangeran Aryo Tjondronegoro IV merasa senang bukan kepalang
dan mendorong Wahidin memperkeras usahanya agar ‘sebanyak mungkin anak-anak
Jawa dimasukkan ke dalam sekolah kedokteran’. Pemikiran Wahidin ini kemudian
dituang dalam catatan-catatan tentang bagaimana memajukan pendidikan bagi
rakyat.
Jaman
kemudian bereras kencang, Kereta Api membelah tanah Jawa, pabrik-pabrik
dibangun, perpustakaan bertebaran dimana-mana, kesadaran tahap pertama pada
lapisan nasionalisme adalah : Intelektualisme sudah berkecambah, di Batavia,
Semarang dan Surabaya.
Para
pelajar dokter Jawa itu disebut bukan stundent tapi ‘eleve’ karena susah
disebut dengan lidah Jawa disebutnya sebagai ‘klepek’. Para klepek berkumpul
tiap malam di asrama, dan berbincang tentang persatuan. Suatu saat para
intelektual muda itu mengajukan ‘ada pertanggungjawaban kita ditengah
masyarakat, pertanggungjawaban nilai-nilai, dan ini harus dimulai dari kita’.
Kata Sutomo, salah satu pemuda yang kemudian menjadi ikon dari kebangkitan
Nasional Indonesia.
Sebuah
kebangkitan, sebuah kesadaran bukanlah serta merta ada, ia adalah kesadaran
bertahap, pada saat masa klepek-klepek itu rapat di
warung-warung depan sekolah Stovia atau di luar jam-jam pelajaran sekolah, maka
rapat itu membahas penyatuan intelektual, penyatuan intelektual inilah yang
secara tepat bisa disebut mesin inkubator kebangsaan, mesin penggerak tahap
pertama sebuah ‘nation’. Disinilah arti penting 1908.
Sutomo
berbicara panjang pada Suradji Tirtonegoro, Gunawan Mangoenkoesoemo, Goembrek,
Muhammad Sulaiman, M Suwarno dan Raden Ongko Prodjosoedirdjo. Pembicaraan ini
bersambut untuk membentuk Boedi Oetomo.
Tujuan
terbesar Boedi Oetomo adalah soal pendidikan, tapi substansi dari Pendidikan
adalah penyadaran yang menyeluruh. Kabar Boedi Oetomo inipun cepat menyebar
kemana-mana dan menjadi bahan pembicaraan para bangsawan.
Suatu
saat Raden Mas Tumenggung Hardjodiningrat membawa kabar berdirinya Boedi Oetomo
kepada Raden Adipati Sosrodiningrat IV yang merupakan penasihat penting dan
patih Pakubuwono X. Koran itupun diberikan kepada Pakubuwono X lalu mereka
bicara di taman belakang pada suatu pagi : “Akan ada perubahan besar di tanah
Jawa, perintahken seluruh bangsawan manut ke Boedi Oetomo
ini”. Saat itu ada perkumpulan para Pangeran bernama Situ Danoejo yang tugas
utamanya adalah pengajaran dan intelektualitas bagi kaum bangsawan.
Poros
Pakubuwono X inilah yang kemudian membesarkan Boedi Oetomo yang kemudian
dikritik oleh dokter Tjiptomangoenkoesoemo, Boedi Oetomo bukan lagi pergerakan
rakyat tapi gerakan bangsawan.
“Hendaknya Boedi Oetomo jadi
organisasi Politik, buka organisasi ini ke rakyat, berikan kesadaran pada
mereka, kerjalah untuk rakyat banyak”.
Ucapan
ini disaksikan Agus Salim yang waktu itu masih menjadi pelajar HBS dan
ikut-ikutan nonton rapat-rapat di Boedi Oetomo.
Ada yang
menarik setelah Boedi Oetomo terbentuk, yaitu panggilan kepada Soetomo yang
merupakan penanggung jawab Boedi Oetomo, para dewan pembina Stovia mengutuk
tindakan Soetomo. Lalu seorang dosen yang tidak simpatik, berteriak : “Soetomo
kamu Komunis..!!”
Dokter
Roll kepala sekolah Stovia, langsung ke tengah sidang dan berkata dengan suara
lantang, membela Soetomo : “Ayo saya tanya pada saudara-saudara semua para
dosen dan pembina sekolah ini, siapakah diantara kalian sebelum umur 18 tahun,
tidak merah, tidak menyenangi Karl Marx..!!
Boedi
Oetomo memang sebuah organisasi yang lamban, yang hanya berpandangan bahwa
bangsa itu Jawa dan Madura saja, yang tidak berwawasan Nusantara tapi arti
penting Boedi Oetomo adalah membangun kesadaran persatuan para Intelektual,
persatuan kesadaran terhadap keadaan, inilah yang dipahami Bung Karno di tahun
1948. Saat di Yogyakarta, Sukarno berbincang pada banyak orang termasuk Menteri
Pengajaran RI saat itu Ali Sostroamidjojo, “Tahun 1908 adalah Tahun dimana kita
mulai menyikapi bahwa hanya dengan Pendidikan negara ini dibebaskan, dan
pendidikan adalah titik awal kebangkitan sebuah bangsa” kata Bung Karno lagi
“Jadi, Pak Ali…tanggal 20 Mei kita peringati sebagai bangsa, sebagai hari Kebangkitan
Nasional”. Maka sejak tahun 1908 kebangkitan nasional dijadikan hari Bangkitnya
Kesadaran Bangsa Indonesia.
Kelak
tanggal 20 Mei, banyak mengandung kontroversi, bahkan di tahun 1970-an,
sejarawan Harsja Bachtiar menggugat tanggal 20 Mei, tapi bagaimanapun apa yang
disadari Bung Karno bahwa : “Kesadaran Pertama manusia tentang Pembebasan
adalah Pendidikan” maka benarlah 20 Mei dijadikan hari kebangkitan Nasional.
-Anton DH Nugrahanto-
Source: kompasiana
0 Response to "Di Balik 20 Mei 1908"
Post a Comment