Candi Borobudur Mahakarya Dynasti Syailendra



Pada awal abad ke-21,  kita sering mendengarkan dan membicarakan tentang kebudayaan lokal dalam menghadapi globalisasi.  Setidaknya hal itu sudah dialami oleh bangsa kita sejak abad ke-8,  atau bahkan jauh ke masa lampau. Bukti nyata dari itu adalah Candi Borobudur,  yang kemudian dikukuhkan sebagai Warisan budaya dunia oleh UNESCO, pada tahun 1991.

Candi Borobudur didirikan oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra pada abad ke-9.  Candi itu terletak diantara dua bukit, tepatnya di Desa Borobudur, kecamatan Borobudur, kabupaten Magelang. Candi Borobudur yang terletak pada satu garis lurus dengan candi Pawon dan Candi Mendut dipandang sebagai satu kesatuan.  Letak candi seperti ini sesuai dengan aturan yang disebut dalam kitab-kitab pedoman para seniman agama di India.  Kitab itu disebut dengan Vastusastra.  Suatu Kitab yang menjelaskan tentang bangunan suci agama Hindu.  Namun demikian,  aturan-aturanya juga digunakan sebagai desain bangunan suci agama Buddha. 

Borobudur merupakan karya yang unik. Susunan Candi Borobudur bebeda dengan susunan candi di India. Pada Umumnya susunan candi di India berdiri diatas fondasi yang tertanam didalam tanah.  Fondasi tersebut berdenah dengan jari-jari delapan.  Di titik tengah terdapat tiang yang dibuat tembus ke atas permukaan tanah,  dan diteruskan menjadi tongkat dengan payung.  Candi Borobudur didirikan langsung di atas bukit tanpa fondasi yang ditanam di dalam tanah seperti yang terdapat di India.  Dilihat dari susunannya,  candi Borobudur merupakan sebuah teras- stupa.  Kaki stupa berbentuk undak teras persegi,  disusul teras mengalir yang dihiasi stupa.  Susunan candi ini memperlihatkan kuatnya pengaruh kebudayaan Jawa pada abad ke-8. 

Bangunan ini dinamai Bhumisambharabhudara yang artinya adalah bukit peningkatan kebijakan setelah melampaui sepuluh tingkat Boddhisattwa.  Borobudur sendiri terdiri dari sepuluh tingkatkan,  yang dapat dipahami sebagai lambang ke-10,  jalan Boddhisatwa.  Candi itu berbentuk bujur sangkar,  dengan ukuran 123 m x 123 m dibagian kakinya.  Bentuk bangunan seperti itu dapat ditafsirkan sebagai bentuk Mandala. Tinggi Candi Borobudur adalah 35,4 m.  Secara Vertikal candi Borobudur terdiri dari dua pola, yaitu pola undak-undak persegi dan pola bangun vertikal.  Karena bentuknya itulah Candi Borobudur dapat dipahami sebagai sebuah stupa yang besar. 

Dalam agama Buddha stupa merupakan perwujudan dari Makrokosmos yang terdiri dari tiga tingkatkan,  yaitu Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu. 

Kamadatu merupakan alam bawah,  bagian ini berada di bawah candi Borobudur.  Pada kamadatu terdapat relief Karmawibhangga, yaitu suatu hukum sebab akibat,  yang merupakan hasil perbuatan manusia. 

Arupadatu adalah alam atas, yaitu tempat para dewa. Bagian ini berada pada tingkat ketiga, termasuk stupa induk berada diatas rupadatu.  Cara membaca relief pada dinding Candi Borobudur searah dengan jarum jam. Sebagai candi pemujaan,  Borobudur mempunyai hubungan dengan candi Mendut dan candi pawon. Ketiga candi tersebut menunjukan proses suatu ritual keagamaan. Mula-mula ritual keagamaan dilakukan di candi Mendut. Kemudian dilakukan persiapan di Candi Pawon dan puncak ritual keagamaan dilakukan di candi Borobudur. 

Dari arca dan relief yang terdapat pada dinding dan pagar candi menunjukkan bahwa candi Borobudur sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana.  Dari arca dan relief itu juga dapat dilihat adanya penyatuan ajaran Mahayana dan Tantrayana,  sesuai filsafat Yogacara. Dalam relief itu tergambar tentang kehidupan sehari-hari di Jawa seperti cara berpakaian rumah tinggal,  candi,  alat berburu,  alat-alat keperluan sehari-hari,  serta jenis-jenis tanaman. 

Dalam kitab sang Hyang Kamahayanikan Mantranaya, pada abad ke-10,  Mpu Sindok dari Dinasti Istana menyebarkan ajaran dari India, yaitu Agama Buddha. Ajaran itu disebarkan di Jawa dan disesuaikan dengan pengetahuan penduduk pada saat itu.  Lebih jauh lagi hasil pengetahuan itu diwujudkan dalam bentuk bangunan candi oleh penduduk Jawa,  bukan oleh penduduk India. 

Candi itu kemudian digunakan sebagai sarana ibadah mereka. Bukti itu ditunjukkan dengan tidak adanya Kampung Keling yang berada di sekitar Candi Borobudur.  Bukti lainnya ditemukan tulisan yang memakai huruf Jawa Kuno,  dengan bahasa Sanskerta,  dengan tidak menggunakan tata bahasa Sanskerta.


Sumber:  Idham Bachtiar Setiadi (edisi).  2011. 100 tahun pemugaran Candi Borobudur.  Jakarta,  Direktorat Tinggalan Purbakala,  Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala,  Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 

Related Posts:

0 Response to "Candi Borobudur Mahakarya Dynasti Syailendra"

Post a Comment